Syari'at
islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa
kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari
sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.
Demikian
juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia,
diantaranya:
1.
Berbahaya bagi akhlak dan kejiwaan manusia.
Didapatkan
orang yang bermuamalah ribawi adalah orang yang memiliki tabi'at bakhil,
sempir, hati yang keras dan menyembah harta serta yang lain-lainnya dari
sifat-sifat rendahan.
Bila
melihat kepada aturan dan system riba didapatkan hal itu menyelisihi akhlak
yang luhur dan menghancurkan karekteristik pembentukan masyarakat islam. System
ini mencabut dari hati seseorang perasaan sayang dan rahmat terhadap
saudaranya. Lihatlah kreditor (pemilik harta) senantiasa menunggu dan
mencari-cari serta berharap kesusahan menimpa orang lain sehingga dapat
mengambil hutang darinya. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan, tidak adanya
rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi (pemberi
pinjaman ribawi) seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap persaudaraan
dan kerja sama saling tolong menolong.
Riba
tidak akan didapatkan pada seorang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan
infaq, shodaqah, berbuat baikpun tidak ada pada masyarakat ribawi. Hal ini
karena pelaku ribawi (Muraabi) mencari celah kebutuhan manusia dan memakan
harta mereka dengan batil. Ini merupakan dosa besar yang telah diperingatkan
Allah dan RasulNya.
Diantara
dalil adalah ayat-ayat riba selalu didahului atau diikuti dengan ayat-ayat
anjuran berinfaq dan shodaqah.
2.
bahaya dalam kemasyarakatan dan sosial.
Riba
memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan, karena masyarakat yang
bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan
seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang
kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.
Kemudian
dapat menumbuhkan kedengkian dan kebencian di masing-masing individu
masyarakat. Demikian juga menjadi sebab tersebarnya kejahatan dan penyakit
jiwa. Hal ini disebabkan karena individu masyarakat yang bermuamalah dengan
riba bermuamalah dengan sistem menang sendiri dan tidak membantu yang lainnya
kecuali dengan imbalan keuntungan tertentu, sehingga kesulitan dan kesempitan
orang lain menjadi kesempatan emas dan peluang bagi yang kaya untuk
mengembangkan hartanya dan mengambil manfaat sesuai hitungannya. Tentunya ini
akan memutus dan menghilangkan persaudaraan dan sifat gotong-royong dan
menimbulkan kebencian dan permusuhan diantara mereka.
Seorang
dokter ahli penyakit dalam bernama dr. Abdulaziz Ismail dalam kitabnya berjudul
Islam wa al-Thib al-Hadits (Islam dan kedokteran modern) menyatakan bahwa Riba
adalah sebab dalam banyaknya penyakit jantung. (Al-Riba Wa Mua'malat
al-Mashrofiyah hal. 172)
3.
Bahaya terhadap perekonomian.
Krisis
ekonomi yang menimpa dunia ini bersumber secara umum kepada hutang-hutang riba
yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara
modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi.
Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.
Sudah
dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah
izin Allah- dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam proyek-proyek
umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar dari pemiliknya
dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat
mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan
tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang
lain
Riba
juga menjadi sarana kolonial (penjajahan). Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi
dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang
membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara
timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka
tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah
berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut,
hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya,
maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama
menjaga hak dan kepentingannya. Oleh karena itu pantaslah bila Rasulullahshallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
"Rasulullah
melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis
transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja."
Melihat
bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi
kita untuk mengetahui hakikat Riba, agar tidak terjerumus padanya.
Definisi
Riba
1.
Pengertian Secara Bahasa
Kata
Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian "tambahan atau
pertumbuhan". Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an, diantaranya
adalah firman Allah Ta'ala:
فَعَصَوْا رَسُولَ
رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَابِيَةً
"Maka
(masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa
mereka dengan siksaan yang seperti riba." (QS. Al-Haaqqah: 10), yakni
siksa yang bertambah terus.
Dan
firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
فَإِذَا أَنْزَلْنَا
عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
"kemudian
apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah…" (QS.
Al-Hajj: 5)
2.
Pengertian Secara Istilah
Menurut
terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi,
diantaranya:
tambahan
khusus yang dimiliki
salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang
dimaksud dengan 'tambahan' secara definitif
a. Tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh
dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan
barang-barang riba fadhl:
Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala
komoditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau
emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama
kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan
kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya,
maka itu adalah riba yang diharamkan.
b. Tambahan dalam hutang yang
harus dibayar karena
tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.
c. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang
berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah terima langsung.
Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada
serah terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua
barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan
ulama lain memberikan definisi:
تَفَاضُلٌ فِيْ
مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ
الْقَبْضُ
"Perbedaan
dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada
sesuatu yang ada serah-terimanya"
Ada
juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ
التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
"Tambahan
atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu."
Sedangkan
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu
ta'ala mendefinisikannya
dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ
بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
"Tambahan
dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut
syari'at."(Syarhul Mumti'8/387)
Jenis
Riba
Para
ulama membagi Riba mejadi 2, yaitu:
1.
Riba Jahiliyah atau Riba Al
Qard (hutang), yaitu
pertambahan dalam hutag sebagai imbalan tempo pembayaran (Ta'khir),
baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran (Al
Hawafiz Al Taswiqiyah 39).
Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. Al Baqarah: 275)
Riba
inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا).
Riba ini juga yang disabdakan RasulullahShallallahu 'alahi wa sallam:
وَ رِبَا
الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
"Riba
jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdil
mutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus." (HR Muslim).
Demikianlah
Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta
orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang
dari yang berhutang tanpa imbalan.(LihatMajmu' fatawa 29/419, I'lam Al Muwaqi'in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40)
Beberapa
Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyyah
Pada
masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, diantaranya adalah:
Bentuk
Pertama: Riba pinjaman
Yakni
yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah: "Tangguhkanlah
hutangku, aku akan menambahnya."
Misalnya,
seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran,
orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata:
"Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan." Yakni: perlambatlah dan tangguhkanlah
masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar.
Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa
binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah
binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang
lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian
seterusnya.
Qatadah
menyatakan: "Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah bentuknya sebagai
berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau
sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak
mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya."
Atha'
menuturkan: "Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani Al-Mughirah
pada masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata: "Kami
akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan
pembayarannya." Maka turunlah firman Allah:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat
ganda." (QS. Ali
Imran: 130)
Ibnul
Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I'laamul Muwaqqi'in:
"Adapun riba yang jelas adalah ribanasii-ah. Itulah riba yang
dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan
pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan,
semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu
dirham." (Lihat I'laamul
Muwaqqi'ien oleh Ibnul
Qayyim 2/ 135)
Imam
Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak
diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab: "Ada orang yang menghutangi
seseorang, lalu ia berkata: "Anda mau melunasinya, atau menambahkan
jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?" Kalau orang itu tidak segera
melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan
jumlahnya."
Bentuk
kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar
dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa
pembayaran.
Al-Jashash
menyatakan: "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab
adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda
dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan
kesepakatan bersama." (Ahkaamul Qur'aan 1/ 465) Di lain kesempatan, beliau
menjelaskan: "Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah
berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga
itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya
dan mengharamkannya." (Ahkaamul Qur'aan 1/ 67)
Bentuk
ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan (kredit
bulanan)
Fakhruddin
Ar-Razi menyatakan "Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal
luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang
agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara
modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada
orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak
mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah
yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah."
(Tafsir Ar-Raazi 4/ 92)
Ibnu
Hajar Al-Haitsami menyatakan: "Riba nasii-ah adalah riba yang populer di masa
jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain
untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang
tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya
tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia
hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia
harus menambah jumlah yang harus dibayar." (Az-Zawajir 'aiq Tiraafil
Kabaa-ir 1/222)
2.
Riba jual beli. Yaitu
riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhl. Komoditi riba fadhl yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma,
garam dan jewawut.
Riba
jual beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasii-ah.
1.
Riba Fadhl
Kata Fadhl dalam bahasa Arab bermakna Tambahan,
sedangkan dalam terminologi ulama adalah
الزيادة في أحد
الربويين المتحدي الجنس الحالين
(Tambahan
pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan).
Atau
ada yang mendefinisikan dengan:
Kelebihan
pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhl atau tambahan pada salah satu alat
pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya. Seperti menukar 20 gram emas
dengan 23 gram emas juga. Sebab kalau emas dijual atau ditukar dengan emas,
maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian
juga dengan segala kelebihan yang disertakan dalam jual beli komoditi riba fadhl.
Riba Fadhl ini dilarang dalam syariat islam
dengan dasar:
a.
Hadits Ubadah bin Shaamit radhiyallahu
'anhu disebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alahi
wa sallambersabda:
{ الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ
فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ }
"Emas
ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum
merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus
sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan
jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan
juga.". (Diriwayatkan
oleh Muslim dalam Shahih-nya
dalam kitab Al-Musaaqat,
bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam Sunan-nya
3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253,
2254)
b.
Hadits Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu
'anhu, Rasulullah Shallallahu
'alahi wa sallam bersabda:
{ لَا تَبِيعُوا
الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى
بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا
تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ }
"Janganlah
kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian
menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan bera,t dan jangan menjual
yang tidak ada (di tempat transaksi) dengan yang ada." (HR Al Bukhari)
Sedangkan
dalam Shahih Muslim berbunyi:
{ الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي
فِيْهِ سَوَاءٌ }
"Emas
ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum
merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus
sama beratnya, dan harus diserahterimakan secara langsung. Barang siapa yang
menambah atau minta tambahan maka telah berbuat riba, yang mengambil dan
memberi hukumnya sama."
c.
Hadits Al Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu
'anhuma keduanya berkata:
نَهَي رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم، عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا
"Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam melarang jual beli perak dengan emas
secara tempo (hutang)".
(HR Al Bukhari).
(HR Al Bukhari).
Diriwayatkan
dari Nabi Shallallahu 'alahi
wa sallam banyak hadits
dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan oleh As-Subki dalam Takmiltul Majmu', yakni
sejumlah dua puluh dua hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhl. Ada yang terdapat
dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar Shahih Bukharidan Shahih
Muslim. Ada yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.
Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar Shahih Bukharidan Shahih
Muslim. Ada yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.
-bersambung
insya Allah-
***
Penulis:
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !