SIKAP SEORANG MUSLIM DALAM MENGHADAPI MEA [Oleh: Imam Wahyudi Indrawan]
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan topik perbincangan yang
sering menghiasi program berita, acara seminar maupun diskusi-diskusi ilmiah
yang diadakan mahasiswa, dosen maupun praktisi. Banyak kalangan yang memandang
bahwa MEA merupakan ajang bagi bangsa Indonesia untuk dapat memperluas akses
pasar bagi produk-produk unggulan khususnya pada sesame anggota ASEAN. Akan
tetapi, tidak sedikit pula kalangan yang kontra mengenai MEA karena menganggap
MEA akan menyengsarakan Indonesia mengingat kualitas sumber daya manusia yang
belum cukup untuk menghadapi era persaingan bebas yang dijalankan dalam
kerangka MEA. Apapun itu, MEA telah resmi dijalankan sejak tahun 2015 lalu.
Islam sebagai agama mayoritas yang dianut bangsa Indonesia pada
dasarnya merupakan sistem kehidupan yang lengkap. Artinya, Islam telah
menyediakan kerangka dasar pada Al Qur’an dan As Sunnah untuk dijalankan kaum
muslimin pada setiap kehidupan. Maka kondisi persaingan pada era MEA seperti
saat ini pun telah memiliki kerangka dasarnya dalam ajaran Islam.
Kawasan MEA pada dasarnya adalah sebuah kawasan dengan akses orang,
modal, barang, dan jasa dapat bergerak secara bebas di dalam kawasan ASEAN
tanpa perlu terkendala permasalahan batas teritorial. Jadi dapat disimpulkan
bahwa kawasan MEA adalah bentuk kawasan kompetitif internasional. Kaum muslimin
sejak awal perkembangannya telah terbiasa dengan perdagangan internasional. Hal
ini tercermin dari firman Allah dalam surah Quraisy:
Artinya: "Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas” (Q.S. Al-Quraisy (106):1-2).
Pada surah di atas, terlihat bahwa suku Quraisy yang merupakan
moyang Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam telah terbiasa
berniaga pada musim dingin dan musim panas. Diriwayatkan bahwa kaum Quraisy
biasa berniaga di negeri Syam (meliputi Suriah, Palestina, Lebanon dan Yordania)
yang lebih sejuk pada musim panas dan berniaga di negeri Yaman yang lebih
hangat pada musim dingin. Artinya, semangat generasi awal kaum muslimin yang
mayoritass berasal dari suku Quraisy adalah terbiasa dengan perdagangan dan
persaingan internasional. Dengan kata lain, persaingan global bukanlah hal yang
asing apalagi perlu ditakutkan oleh kaum muslimin.
Lalu, bagaimana kiat agar umat Islam dapat sukses menghadapi era
kawasan persaingan bebas MEA? Di antara kunci sukses persaingan global dapat
kita kaji dari ayat berikut ini:
Artinya: "Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. Al Jumu’ah: 10).
Ayat di atas adalah sebuah ayat yang sangat komprehensif apabila
dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan dunia. Salah satu poin menarik
dari ayat di atas adalah kata penutup dari ayat tersebut adalah “la’allakum
tuflihuun” atau “agar kamu beruntung”. Kata falah dalam kajian-kajian
ekonomi Islam sering dimaknai sebagai kondisi kesejahteraan yang tidak hanya
meliputi aspek material namun juga spiritual. Konsep falah sebagai
tujuan dalam mengarungi era persaingan MEA menjadi sangat relevan untuk
diketengahkan. Hal ini dimaksudkan agar kesuksesan umat Islam termasuk pada era
MEA tidak hanya berdimensi material namun juga mencakup spiritual.
Berikut adalah beberapa poin yang dapat kita simpulkan dari ayat di
atas dalam konteks era persaingan MEA ialah sebagai berikut:
1.
Ayat tersebut dimulai dengan
frasa “apabila telah ditunaikan shalat”. Shalat menjadi titik pangkal kaum
muslimin sebelum beraktivitas dunia. Shalat juga menjadi simbol aktivitas
religius sebagai dasar dalam menjalani kehidupan dunia yang begitu penuh dengan
persaingan. Frasa ini menyiratkan bahwa meskipun kaum muslimin mengarungi
aktivitas dunia yang penuh dengan persaingan, jadikanlah sholat sebagai titik
pangkal tiap aktivitas. Dalam kerangka yang lebih luas, jadikan ajaran Islam
sebagai bekal awal dan identitas kaum muslimin dalam mengarungi era persaingan
MEA.
2.
Frasa berikutnya adalah “bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. Umat
Islam harus memiliki keberanian di dalam menjalani era persaingan karena Allah
memerintahkan kita untuk bertebaran di bumiNya yang luas serta menggali setiap
potensi yang telah Allah karuniakan. Frasa ini menyiratkan adanya sikap
optimistis, keberanian dan perilaku produktif di dalam mencari rezeki. Selain
itu, Allah ingatkan bahwa segala hal yang kita dapatkan adalah karuniaNya maka
haruslah tetap menyertakan setiap kegiatan kita untuk tawakkal kepadaNya. Tiada
mungkin kemenangan akan diraih tanpa campur tangan Allah di dalamnya.
3.
Frasa terakhir sebelum
munculnya kata falah adalah “ingatlah Allah banyak-banyak”. Frasa ini
menjadi penegasan dari frasa pertama dan kedua. Bertitik pangkal dari aktivitas
sholat yang berisi banyak mengingat Allah serta diingatkan bahwa setiap karunia
adalah dari sisi Allah, maka frasa ini ingin menegaskan bahwa selalu ada Allah
dalam aktivitas kita. Ada karunia Allah dalam setiap yang kita dapatkan, ada
syariat Allah yang harus dijaga selama bertransaksi, ada etika yang Allah
ajarkan pada setiap aktivitas, dan ada hak Allah serta orang lain dalam setiap
harta yang kita peroleh. Frasa ini adalah pagar bagi kaum muslimin agar mampu
menjalankan persaingan tidak secara membabi buta melainkan tetap unggul dalam
bingkai kesyariahan.
Maka, dapat disimpulkan bahwa kunci sukses kaum muslimin dalam
menghadapi era persaingan adalah sikap religiusitas yang melahirkan perilaku
produktif dan optimis namun tetap beretika dan bersesuaian dengan syariat
Islam. Apabila nilai-nilai ini dapat dipahami dan diamalkan, insyaAllah umat
Islam di Indonesia akan mampu Berjaya di era MEA yang telah berjalan.