slide

ASSALAMUALAIKUM

Wellcome to Our World

Profil AcSES

http://acsesfebunair-ksei.blogspot.co.id/search/label/Profil%20AcSES

---->Klik untuk membuka profil AcSES

Ekonomi Islam

---->Klik untuk berkenalan dengan ekonomi islam

AcSES News

---->Klik untuk membuka Informasi tentang agenda kami

FoSSEI News

---->Klik untuk membuka Informasi tentang agenda Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam

IE News

---->Klik untuk membuka Informasi terkini tentang perkembangan Indeks Syariah dan Unit Usaha Syariah

Call For Paper

---->Klik untuk mencari tahu tentang lomba paper terbaru

"/>

Shariah Group Discussion

---->Klik untuk berdiskusi bersama masalah ekonomi Islam

Our Idea

---->Klik untuk menemukan gagasan-gagasan terbaik kami

"/>

Download

---->Klik untuk mendownload file-file kami

Minggu, 24 Mei 2015

Menggagas Sekolah Nazhir




Wakaf, sebagai bagian dari syariat Islam, merupakan salah bukti bahwa Islam memperhatikan isu pemberdayaan ekonomi umat. Wakaf adalah salah satu bentuk pengelolaan harta dengan menahan pokok dari suatu harta; dan memberikan manfaatnya untuk digunakan di jalan Allah; serta harta tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan, maupun diwariskan.

Wakaf memiliki dua dimensi, yakni ibadah dan sosial. Dimensi ibadah wakaf tecermin dari hadis Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim, no. 3084).


Dimensi sosial wakaf terlihat dari fakta bahwa wakaf adalah suatu instrumen pengelolaan harta yang dapat dipergunakan untuk memakmurkan ekonomi umat dan memberdayakan masyarakat yang tergolong duafa.

Di Indonesia, wakaf sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam telah diakui oleh hukum positif yang berlaku di republik ini melalui pengesahan Undang-Undang Nomor  41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU tersebut. Saat ini pun telah berdiri Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai nazhir wakaf di tingkat nasional dan pengawas semua nazhir wakaf yang berada di Indonesia.

Perkembangan terkini dari wakaf di Indonesia cukup mencengangkan. Menurut data Kementerian Agama RI pada tahun 2010, jumlah lokasi tanah wakaf di Indonesia sebanyak 414.848 lokasi dengan luas tanah 2.171.041.349,74 meter persegi danhampir 95 persen aset wakaf belum dimanfaatkan secara optimal. Sebuah studi lain yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010 mengungkapkan bahwa jumlah unit wakaf yang terdata mencapai hampir 363.000 wakaf berupa lahan yang tersebar di berbagai wilayah yang nilainya mencapai Rp590 triliun.

Meskipun memiliki aset wakaf yang tergolong luas dan bernilai ekonomis besar, belum optimalnya pengelolaan wakaf di Indonesia menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf di Indonesia masih memiliki permasalahan yang harus diselesaikan.Pertama, pola pengelolaan wakaf di Indonesia masih belum diarahkan menuju pengelolaan produktif. Masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa wakaf hanyalah berupa tanah dan digunakan untuk masjid, sekolah, dan pemakaman yang tidak menghasilkan nilai ekonomis. Meskipun tujuan peribadatan wakaf tercapai, namun jika wakaf hanya berupa aset tersebut saja maka aset wakaf justru menjadi beban bagi masyarakat.

Kedua, sumber modal bagi pengelolaan wakaf yang masih bergantung dari dana sosial masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa aset wakaf belum dapat dijalankan secara mandiri. Ketiga, nazhir wakaf masih belum profesional dan kreatif dalam mengelola aset wakaf. Hal ini terlihat dari banyaknya masjid dan aset-aset wakaf lainnya yang terbengkalai.

Khusus terkait permasalahan nazhir, profesionalitas dan kreativitas mereka selaku pemegang amanah dari wakif menjadi sangat mutlak dibutuhkan. Nazhir dapat diibaratkan sebagai manajer investasi dalam dunia pasar modal, yang memiliki keahlian dan kewenangan mengelola portofolio aset investor untuk dapat menghasilkan keuntungan bagi investor. Manajer investasi yang tidak profesional tentu akan merugikan investor. Demikian pula nazhir, harus profesional agar dapat menjaga kepercayaan wakif.

Untuk dapat meningkatkan profesionalitas nazhir maka diperlukan suatu lembaga yang dapat menjadi wadah pendidikan dan pelatihan bagi para nazhir. Konsep semacam Sekolah Nazhir (School of Nazhir) selayaknya dapat diajukan.

Sekola Nazhir dapat diaplikasikan menjadi suatu lembaga yang mewadahi pelatihan bagi para calon nazhir yang ingin mendapat pengakuan dalam pengelolaan aset wakaf. Lembaga ini dapat berada di bawah hierarki organisasi BWI secara langsung.

Beberapa materi yang selayaknya diajarkan dalam Sekolah Nazhir ialah (1) dasar-dasar keislaman, (2) fikih muamalah khususnya wakaf, (3) manajemen keuangan dan investasi, dan (4) isu kontemporer perwakafan.

Kehadiran Sekolah Nazhir dapat membawa dampak positif. Di antaranya (1) standarisasi pengelolaan wakaf di Indonesia dapat terwujud, (2) sumber daya insani dalam pengelolaan wakaf dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, dan (3) nazhir akan memiliki pengakuan terkait profesionalitasnya dalam mengelola aset wakaf.

Dengan adanya Sekolah Nazhir, maka dalam jangka panjang, potensi aset wakaf yang berada di Indonesia dapat dikelola oleh SDM-SDM profesional sehingga manfaat wakaf akan semakin terasa bagi umat dan masyarakat luas.[]

Penulis: Imam Wahyudi Indrawan
Direktur Umum AcSES, Mahasiswa Universitas Airlangga, Jurusan Ekonomi Islam

Diambil dari: http://bwi.or.id/index.php/publikasi/artikel/1558-menggagas-sekolah-nazhir

Sumber Ilustrasi: blog.uad.ac.id

Jangan Menghitung Untung Rugi, Perjuanganmu untuk Negri



“Jangan menghitung untung rugi, perjuanganmu untuk negri”
            
Kalimat tersebut merupakan perkataan Ir.Soekarno yang terpajang di salah satu sisi museum angkut kota Batu. Itulah yang mencoba dilaksanakan delegasi BEM FEB dalam rangkaian acara Temu Ilmiah BEM FEB se-Jawa Bali di UMM 12-14 Mei kemarin. Dengan minimnya persiapan dan di tengah sibuknya rangkaian kegiatan lain akhirnya kami, Tri Lestari, Alqoma Subkhi, dan Suci Nur Aini melaju dengan bonek (bondo nekat).
            
Dewan Pertimbangan Presiden dan Wakil Ketua DPR RI, berbagi banyak ilmu dan menceritakan tentang Indonesia dan perkembangannya. Walikota Batu serta DPRD Malang memaparkan dari sisi lain untuk membangun negri dari bawah. Beruntung salah satu dari kami mendapat kesempatan untuk bertanya dengan salah satu pembicara. Dengan bekal materi tersebut, hari selanjutnya sidang komisi dan sidang pleno diberlangsungkan. Delegasi Universitas Airlangga, Universitas PGRI Kediri, dan Universitas Muhammadiyah Surakarta tergabung dalam Komisi 4 yang membahas tentang “Regulasi sebagai penunjang roda perekonomian Indonesia”. Delegasi dari UNAIR, Tri Lestari menjadi Ketua sidang Komisi 4 dan dibantu Nanang dari UMS sebagai notulen. Sidang komisi selama kurang lebih 2 jam membuahkan menghasilkan 4 poin permasalahan tentang regulasi beserta solusinya. Kemudian di sidang Pleno, masing-masing ketua komisi memaparkan hasil sidang komisinya. Dengan diskusi terbuka akhirnya setiap permasalahan yang telah dirumuskan menemukan titik temu solusinya. Disini kami menemukan simulasi persidangan para pengurus negara, dan siap menjadi penerusnya yang lebih baik.
            
Namun ilmu yang kami dapat sesungguhnya pada tiap-tiap diskusi non formal dengan delegasi yang lain. Sebuah keadaan kontras dengan apa kami dapati di perkuliahan biasanya. Ketika mahasiswa lain sibuk memikirkan baju apa yang sedang trend, tempat nongkrong mana yang lagi hits, atau kuliah besok akan TA, diantara mahasiswa yang kami temui kemarin telah memikirkan hal yang lebih besar tentang INDONESIA. Melalui acara tersebut setidaknya pemikiran kita telah tertampung dan akan disampaikan pada Watimpres. Kami bersama-sama membangun pemikiran bagaimana mensejahterakan rakyat Indonesia dengan sektor ekonomi. “Sistem ekonomi Indonesia itu unik, kita bukan kapitalis tapi juga bukan sosialis. Sehingga sampai saat ini Indonesia masih belum menemukan identitas ekonominya.” Perkataan dari ketua komisi 4 yang juga disetujui yang lain. Dikatakan system ekonomi Indonesia adalah system ekonomi kerakyatan, namun kenyataannya belum terlaksana sepenuhnya. 

Dari diskusi nonformal salah seorang dari UII mengatakan bahwa setiap system pasti mengandung kapitalis untuk bertahan, begitu pula di Indonesia. Dan hampir semua menolak kejamnya kapitalis, sehingga peranan kita sebagai mahasiswa menentukan perubahan yang ada di Indonesia. Disini kami sedang memperjuangkan ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya untuk kesejahteraan rakyat. Misi ini selaras dengan misi yang dibawa oleh ekonomi islam, untuk kesejahteraan umat. Semoga dilain kesempatan, ada forum seperti ini yang dapat menjadi wadah pemikiran kita dalam rangkaian perjuangan kita untuk kesejahteraan. Dan yang terpenting kita butuh pergerakan, aksi nyata untuk merealisasikannya. Atas nama kesejahteraan rakyat, mari kita bumikan Ekonomi yang ideal dan barokah, Ekonomi Islam. (Tri Lestari)

Kelompok SGD Acsesor

 
Powered By Blogger

Kontributor

a

a